Kutau yang Bos Mau!

Februari ini memang melelahkan. Bukan karena Imlek atau Valentine Day. Tapi, karena padatnya kegiatan. Pagi di perusahaan, siang di perguruan tinggi atau sebaliknya. Benar-benar jadi Ibu Jalanan karena tidak sempat pulang makan. Melainkan, makan di jalan. Ya, makan siang di mobil. Inikah profil wanita karir di abad nuklir? He he he … bahkan, LSM juga tidak mau ketinggalan, ikut memadatkan agenda pelatihan.

Saat meninggalkan hotel tempat pelatihan diselenggarakan, saya menerima telepon dari seorang karyawati yang baru sebulan diangkat sebagai manajer. “Bu Lena, saya Lia (bukan nama sebenarnya). Sekarang saya nggak kerja di Perusahaan XYZ lho. Sudah berhenti.”

Saya terkejut. “Lho, mengapa? Sekarang kerja di mana?”

“Bantu-bantu kerja di tempat saudara. Karena program kerja saya nggak disetujui atasan. Saya merasa nggak ada gunanya jadi manajer, Bu! Kalau segala seuatu mesti lapor dan minta persetujuan atasan, kan, ama aja nggak jadi manajer, tetapi tetap karyawan. Iya kan, Bu? Kan, saya punya harga diri?”

Saya masih bertanya, “Apa keputusan mbak Lia tidak tergesa-gesa dan didorong emosi semata? Sayang, kan? Diangkat jadi manajer nggak gampang, lho. Suatu kepercayaan yang tidak diberikan kepada sembarang orang.”

Yah, apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur. Begitulah realita dunia kerja. Ternyata, belum semua memahami bahwa manajer walaupun memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap anak buahnya, ia tetap mempunyai atasan. Bisa GM, Direktur, atau owner, apa pun sebutannya. Ia juga harus menyusun program atau rencana kerja (planning) yang tidak terlepas dari persyaratan, persetujuan, dan pengesahan dari atasan.

Agar sukses dalam karir dan kenaikan jabatan, kita dituntut punya nilai lebih. Tidak cukup hanya mempunyai etos kerja tinggi maupun etos kerja profesional abad 21. Menurut saya perlu diingat 5 hal, yaitu:

    1. Memiliki sikap terbuka: bisa menerima saran dan teguran.
    2. Dapat mengendalikan diri alias tiak emosional.
    3. Mampu menerima dan menyikapi perubahan, bahkan menjadi agen perubahan.
    4. Jujur pada diri sendiri. Artinya, selain bertindak sesuai dengan komitmen, juga jangan bersembunyi di balik kelemahan diri. Berani mengakui kelemahan dan kekurangan yang dimiliki. Meminjam istilah Herry Prasetyo dalam Pribadi yang Menyenangkan: mampu menciptakan harmonisasi hati, pikiran, dan tindakan.
    5. Mampu menjadi pengatur langkah yang smart! Artinya, lihai mengenai medan tugas, masalah, dan risikonya. Mengenali karakter rekan kerja, tim, dan atasan kita. Jeli menentukan langkah sesuai dengan visi, misi, tujuan, target, prosedur, dan alur kerja. Diperlukan kaca pembesar untuk melihat keinginan atasan!

Di sinilah kuncinya! Kita harus mampu mengatur langkah dengan smart sehingga sukses ada di tangan kita.

Dengan kata-kata yang populer: kita perlu tau apa yang atasan mau. Bukannya kutau yang kumau. Melainkan, harus diubah Kutau yang bos mau!.

Share artikel ini:

Sumber:

Sukartono, M. 2008. Pernik-penik SDM & Dunia Kerja dari Dahsyat Sampai Mak Nyesss…. Yogyakarta : Penerbit ANDI
Two men photo created by katemangostar – www.freepik.com

Butuh bantuan?

Jika ada pertanyaan lebih lanjut, silahkan hubungi customer service kami dengan menakan tombol dibawah ini

×

Halo!

Silahkan tinggalkan pesan melalui chat Whatsapp atau kirimkan email ke humas.qep@gmail.com

× Contact